Minggu, 30 September 2012

KERINDUAN YANG AMAT SANGAT DALAM


MENJELASKAN KESEPIAN
Dear deary,
Waktu berjalan dengan cepat, berjalan yang kita kira lambat ternyata bergerak seakan tanpa jerat. Semua telah berubah, begitu juga kamu, begitu juga aku, begitu juga kita. Bahkan waktu telah menghapus KITA yang pernah merasakan cinta, waktu telah memutarbalikkan segalanya yang sempat indah. Tak ada yang tahu, kapan perpisahan menjadi penyebab kecemburuan. Aku menjalani, dan aku  meyakini, namun pada akhirnya waktu juga yang akan menentukan akhir cerita ini.

Kaubilang, tak ada yang terlalu berbeda, tak ada yang terasa begitu menyakitkan. Tapi siapa yang tau perasaan orang yang terdalam? Mulut bisa berkata, namun hati tak bisa berdusta. Kalau aku boleh jujur, semua terasa asing dan berbeda. Itulah sebabnya tak ada lagi kamu disini. Kosong. Hampa.

Bagaimana aku bisa menjelaskan banyak hal yang mungkin tidak kamu rasakan? Aku berharap kau selalu berada disini. Namun harapanku terlalu jauh untuk kembali ke masa lalu, saat waktu yang kita jalani adalah kebahagiaan kita seutuhnya, saat masih ada kamu di barisan hidupku.

Perpisahan seperti mendorongku pada realita yang selama ini aku takutkan. Kehilangan mempersatukan aku pada air mata. Aku sulit memahami kalau kau tidak berada lagi di semestaku. Di khayalanku. Di anganku. Semua kenangan bergantian melewati otakku, bagai film yang tak mau berhenti kejar tayang.

Ada yang kurang. Ada yang tak lengkap. Aku terbiasa pada kehadiranmu, dan ketika menjalani setiap detik tanpamu, yang kurasa hanya bayang-bayang yang saling berkejaran. Otakku selalu memaksaku memikirkan kamu. Aneh bukan? Salahkah jka aku mengharapkan penyatuan kita kembali? Salahkah jika aku benci kepada perpisahan ini?

Aku merindukanmu. Kamu yang dulu. Aku yang dulu. Intinya, kita yang dulu.
Ya ampun, aku sudah melamun selama sekitar 2 menit, dan menuliskan sebagian isi hatiku di microsoft word ini. Ah diary, inilah penyebab kerinduan yang sangat amat dalam.

MENJELASKAN KESEPIAN
Dear deary,
Waktu berjalan dengan cepat, berjalan yang kita kira lambat ternyata bergerak seakan tanpa jerat. Semua telah berubah, begitu juga kamu, begitu juga aku, begitu juga kita. Bahkan waktu telah menghapus KITA yang pernah merasakan cinta, waktu telah memutarbalikkan segalanya yang sempat indah. Tak ada yang tahu, kapan perpisahan menjadi penyebab kecemburuan. Aku menjalani, dan aku  meyakini, namun pada akhirnya waktu juga yang akan menentukan akhir cerita ini.

Kaubilang, tak ada yang terlalu berbeda, tak ada yang terasa begitu menyakitkan. Tapi siapa yang tau perasaan orang yang terdalam? Mulut bisa berkata, namun hati tak bisa berdusta. Kalau aku boleh jujur, semua terasa asing dan berbeda. Itulah sebabnya tak ada lagi kamu disini. Kosong. Hampa.

Bagaimana aku bisa menjelaskan banyak hal yang mungkin tidak kamu rasakan? Aku berharap kau selalu berada disini. Namun harapanku terlalu jauh untuk kembali ke masa lalu, saat waktu yang kita jalani adalah kebahagiaan kita seutuhnya, saat masih ada kamu di barisan hidupku.

Perpisahan seperti mendorongku pada realita yang selama ini aku takutkan. Kehilangan mempersatukan aku pada air mata. Aku sulit memahami kalau kau tidak berada lagi di semestaku. Di khayalanku. Di anganku. Semua kenangan bergantian melewati otakku, bagai film yang tak mau berhenti kejar tayang.

Ada yang kurang. Ada yang tak lengkap. Aku terbiasa pada kehadiranmu, dan ketika menjalani setiap detik tanpamu, yang kurasa hanya bayang-bayang yang saling berkejaran. Otakku selalu memaksaku memikirkan kamu. Aneh bukan? Salahkah jka aku mengharapkan penyatuan kita kembali? Salahkah jika aku benci kepada perpisahan ini?

Aku merindukanmu. Kamu yang dulu. Aku yang dulu. Intinya, kita yang dulu.
Ya ampun, aku sudah melamun selama sekitar 2 menit, dan menuliskan sebagian isi hatiku di microsoft word ini. Ah diary, inilah penyebab kerinduan yang sangat amat dalam.

Sabtu, 01 September 2012

LAGI..., TENTANG KITA. TENTANG MASA LALU

Ini bukan yang pertama, duduk sendirian dan memerhatikan beberapa tulisan berlalu-lalang. Setiap abjad yang tersusun dalam kata terangkai menjadi kalimat, dan entah mengapa sosokmu selalu berada di sana, berdiam dalam tulisan yang sebenarnya enggan aku baca dan kudefinisikan lagi. Ini bukan yang baru bagiku, duduk berjam-jam tanpa merasakan hangatnya perhatianmu melalui pesan singkat. Kekosangan dan kehampaan sudah berganti-ganti wajah sejak tadi, namun aku tetap menunduk, mencoba tak memedulikan keadaan. Karena jika aku terlalu terbawa emosi, aku bisa mati iseng sendiri.

Tentu saja kamu tak merasakan apa yang aku rasakan. Rasa rindu. Rasa sayang. Aku sengaja menyembunyikan perasaaan itu rapat-rapat.

Kali ini aku akan membahas tentang kesepian, atau bercerita tentang hal yang sulit kau pahami. Karena aku sudah tau, kamu sangat sulit diajak basa-basi, apalagi jika bercerita soal cinta. Aku yakin, kamu akan menutup telinga dan membesarkan volume-volume lagu jika aku berkata soal kerinduan. Aku tidak akan tega menjejalimu dengan cerita absurdku. Seperti dulu, seperti aku cerita tentang cinta, kau malah tertawa. Haha, patutkah begitu? Bagiku, tidak.

Kamu tak suka jika aku ceritakan tentang air mata bukan? Bagaimana kalau kualihkan dengan senyum pura-pura? Tentu saja kau tak ingin melihatnya. Karena kau sama sekali tidak peka. Dan mungkin, sifat burukmu tetap saja begitu. Walaupun kita sudah lama tak bersua.

Entah mengapa, akhir-akhir ini sepi sekali. Aku seperti mendengar bisikan-bisikan angin di telingaku. Mendengar gelitikan asap rokok ayahku di telingaku. Aku seperti menjadi orang yang kesepian di dalam keramaian. Itu sama sekali tak mengenakkan, kau tahu? Ah, mungkin kau tidak pernah merasakan hal seperti itu. Dan, semoga tak akan pernah. Karena aku selalu mendoakanmu. Ingatlah itu. Yakinlah itu.

Tidak usah dibawa serius. Hanya beberapa paragraf bodoh untuk menemani rasa sepiku.
Ini bukan yang pertama, duduk sendirian dan memerhatikan beberapa tulisan berlalu-lalang. Setiap abjad yang tersusun dalam kata terangkai menjadi kalimat, dan entah mengapa sosokmu selalu berada di sana, berdiam dalam tulisan yang sebenarnya enggan aku baca dan kudefinisikan lagi. Ini bukan yang baru bagiku, duduk berjam-jam tanpa merasakan hangatnya perhatianmu melalui pesan singkat. Kekosangan dan kehampaan sudah berganti-ganti wajah sejak tadi, namun aku tetap menunduk, mencoba tak memedulikan keadaan. Karena jika aku terlalu terbawa emosi, aku bisa mati iseng sendiri.

Tentu saja kamu tak merasakan apa yang aku rasakan. Rasa rindu. Rasa sayang. Aku sengaja menyembunyikan perasaaan itu rapat-rapat.

Kali ini aku akan membahas tentang kesepian, atau bercerita tentang hal yang sulit kau pahami. Karena aku sudah tau, kamu sangat sulit diajak basa-basi, apalagi jika bercerita soal cinta. Aku yakin, kamu akan menutup telinga dan membesarkan volume-volume lagu jika aku berkata soal kerinduan. Aku tidak akan tega menjejalimu dengan cerita absurdku. Seperti dulu, seperti aku cerita tentang cinta, kau malah tertawa. Haha, patutkah begitu? Bagiku, tidak.

Kamu tak suka jika aku ceritakan tentang air mata bukan? Bagaimana kalau kualihkan dengan senyum pura-pura? Tentu saja kau tak ingin melihatnya. Karena kau sama sekali tidak peka. Dan mungkin, sifat burukmu tetap saja begitu. Walaupun kita sudah lama tak bersua.

Entah mengapa, akhir-akhir ini sepi sekali. Aku seperti mendengar bisikan-bisikan angin di telingaku. Mendengar gelitikan asap rokok ayahku di telingaku. Aku seperti menjadi orang yang kesepian di dalam keramaian. Itu sama sekali tak mengenakkan, kau tahu? Ah, mungkin kau tidak pernah merasakan hal seperti itu. Dan, semoga tak akan pernah. Karena aku selalu mendoakanmu. Ingatlah itu. Yakinlah itu.

Tidak usah dibawa serius. Hanya beberapa paragraf bodoh untuk menemani rasa sepiku.
 
Elphin Books Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template