Selasa,
13 November 1999.
17:33
“Ibu, belikan aku mainan itu.” Aku
menunjuk-nunjuk boneka barbie berbalut baju warna pink itu. Mataku
berbinar-binar saat menatap boneka barbie tersebut.
Akhir-akhir ini,
teman-temanku selalu memamerkan koleksi boneka barbie terbarunya. Sedangkan aku, hanya bisa memandangi
boneka-boneka yang mereka miliki. Dan sekarang, ketika aku melewati toko mainan
ini, saatnya aku meminta boneka barbie kepada ibu. Sudah lama aku menginginkan
boneka barbie. Aku ingin bermain boneka barbie dan mendandani boneka barbie
tersebut dengan alat make-up milik ibuku. Dengan membayangkannya saja,
aku sudah tersenyum-tersenyum sendiri. Ah, aku jadi tidak sabar buat mengambil
boneka barbie tadi, setelah ibu membayarnya.
”Kapan-kapan saja, ya.” Aku bisa melihat senyuman
dari bibir ibuku, setelah beliau mengatakan kalimat tadi. Dan, apa katanya
tadi? Kapan-kapan saja?! Ya ampun, apa ibuku tidak bisa mengerti
perasaanku? Aku ingin sekali boneka barbie itu. Aku sudah mengidam-idamkan dari
dulu! Sekali lagi, aku
menujuk boneka barbie tadi, ”Ibu, aku pengen itu. Tolong belikan.” Raut wajahku
sudah tidak berbinar seperti tadi, tapi, aku tidak pantang menyerah. Aku
menginginkan boneka barbie itu sekarang, bukan kapan-kapan saja.
Tapi, ibuku tetap mengucapkan kalimat seperti yang diucapkan tadi. ”Kapan-kapan saja, Nak. Uang ibu buat beli makan keluarga kita.”
Tapi, ibuku tetap mengucapkan kalimat seperti yang diucapkan tadi. ”Kapan-kapan saja, Nak. Uang ibu buat beli makan keluarga kita.”
Dan seketika itu, aku menangis meraung-meraung di
tengah jalan, tepatnya di depan toko boneka barbie tadi. Aku tidak peduli apa
kata orang. Aku tidak malu. Karena yang aku inginkan sekarang, hanyalah boneka
barbie....
***
6 tahun kemudian...
”Prita, kamu tidak menginginkan sepeda motor, ya?”
Temanku Devi bertanya dengan
heran. Raut muka heran terpampang jelas di wajahnya.
Apa katanya tadi? Apa aku tidak menginginkan
sepeda motor? Dari lubuk hati yang paling dalam, aku sangat ingin mempunyai
sepeda motor sendiri. Bagaimana tidak? Aku sekarang sudah SMA kelas 1. Siswa
seumuranku sekarang, banyak sekali yang berangkat sekolah sudah menggunakan
sepeda motor pribadinya sendiri. Apalagi para cowok, malah sudah lincah sekali
menaiki sepeda motor sendiri, tanpa perlu dibimbing lagi oleh orang tuanya.
Bukannya aku tidak bisa menaiki sepeda motor
sendiri. Aku sudah bisa, kok. Aku sudah bisa menaiki sepeda motor sendiri
ketika kelas 7 SMP. Tapi, bukan itu masalahnya. Masalah yang aku hadapi
sekarang, aku ingin mempunyai sepeda motor sendiri. Tanpa perlu naik ojek
setiap berangkat sekolah.
Malamnya, setelah Ani bertanya kepadaku tadi, aku
langsung mendatangi ibuku yang sedang berada di ruang tamu menonton televisi.
”Bu, gimana tadi kerjanya? Capek?” tanyaku setelah
aku mendudukkan diri di kursi sebelah ibu.
”Hai sayang, kerjanya lancar, kok. Lumayan capek,
sih. Gimana kamu sendiri? Apa kamu merasa kesulitan terhadap perubahan
lingkungan sekolahmu? Jadi anak SMA pasti bangga, ya?” Ibuku bertanya itu
dengan senyum khasnya.
”Alhamdulillah tidak, kok, Bu. Prita langsung bisa
menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekolah baru Prita. Hihi, ya begini ini,
Bu. Jadi anak SMA jadi harus lebih dewasa daripada sebelumnya.” Tidak lupa, aku
menyunggingkan senyum itu kepada ibuku. Setiap berbicara dengan ibuku, aku
selalu memasang senyum tulusku. Karena aku mencintai beliau.
”Alhamdulillah. Kamu tidak makan, Nak? Biar Ibu
suapin. Sudah lama ibu tidak nyuapin kamu.” Aku langsung mengumbar tawa geliku.
”Ibu ini ada-ada saja, masa Prita anak SMA mau
disuapin, sih, Bu? Haha.”
Ibuku ikut-ikutan tertawa. Tawa khas ibuku.
Setelah kami menghentikan tawa tadi, aku langsung
mengalihkan pembicaraan. ”Bu, sebenarnya, Prita mau bilang sesuatu sama Ibu.”
Aku bisa merasakan gemetar dari bibirku. Aku selalu takut ketika berbicara
dengan ibu apabila sedang meminta sesuatu. Dari kecil.
”Apa sayang?” Sekarang, ibuku tidak lagi menatap
layar televisi, melainkan menatapku. Beliau sedikit memiringkan tubuhnya, agar
bisa sepenuhnya menatap aku.
”Prita minta sepeda motor, ya, Bu?” Lagi-lagi aku menggigit bibir.
Mataku terus menatap mata ibu penuh ketakutan. Inilah
sifat anehku. Seperti yang sudah aku jelaskan sebelumnya. Aku bisa merasakan
helaan nafas ibuku mengenai tangan mungilku. Helaan nafas yang sangat keras. Aku tidak tahu apa yang sedang dirasakan
ibu sekarang.
”Prita...,” kata ibuku lemah. ”Ibu tidak punya
uang, Nak.” lanjutnya.
Jegler! Kalimat itu meninju hatiku. Kalimat yang pernah diucapkan sebelumnya. 6 tahun lalu. Ketika aku meminta berbagai mainan boneka barbie kepada ibu.
Jegler! Kalimat itu meninju hatiku. Kalimat yang pernah diucapkan sebelumnya. 6 tahun lalu. Ketika aku meminta berbagai mainan boneka barbie kepada ibu.
Dan sekarang, kalimat itu terucap lagi. Ketika aku
meminta sepeda motor.
”Kan kamu sudah punya sepeda, Nak...,” kata ibuku
lagi.
Oke, aku memang mempunyai sepeda. Sepeda bututku
yang ibu belikan untuk hadiah ulang tahunku ketika aku berumur 10 tahun. Tapi
sekarang, aku sudah SMA. Naik sepeda? Bukannya aku gengsi, tapi sekolahku
sangat jauh dari rumah. Jarak rumahku dengan sekolahku sekita 15KM. Apa dengan
naik sepeda aku bisa mencapai sekolah tepat jam setengah 7? Aku pikir, itu
sangatlah konyol.
”Kamu juga bisa naik ojek, Nak. Kan Mang Udin
sudah jadi tukang ojek pribadimu.” Lanjut ibuku.
Naik ojek dengan Mang Udin? Itu sudah kebiasaanku
dari dulu. Dia memang sudah jadi tukang ojek pribadiku. Tapi, apa salahnya aku
ingin mempunyai sepeda motor pribadi? Tidak hanya dengan tukang ojek
pribadi....
”Maaf, ya, Nak. Uang ibu buat makan keluarga kita.”
”Oke, tidak apa-apa, Bu. Prita mau tidur dulu. Prita
capek tadi di sekolah ada tugas menumpuk.”
Aku langsung meninggalkan ibu dari sofa keluarga,
dan menuju kamarku. Aku membuka pitu kamarku, dan menutupnya dengan keras—dengan
kata lain; membantingnya—. Sampai kamar, kubantingkan tubuhku di kasur, dan
menutupi wajahku dengan bantal.
Aku menangis sejadi-jadinya.
***
2 tahun kemudian...
AKU LULUS! Horeee!
Aku melompat-lompat kegirangan di kamarku sendiri,
sambil menatap layar komputerku.
Pengumuman kelulusan SMA tahun ini, memang
diumumkan via online. Dan sekarang, aku sedang membuka website dinas Surabaya.
Namaku terpampang di barisan paling atas! Ya! Aku termasuk 10 besar se
Surabaya! Tepatnya, aku urutan 5 teratas se Surabaya! Dengan nilai yang
memuaskan! Ya tuhan, ini benar-benar keajaiban.
Aku buru-buru memberitahu kabar ini kepada ibuku.
Ibuku berada di dapur, aku langsung merangkulnya
dari belakang.
”Wohoo, ada apa sayang?” Ibu mematikan kompor, dan
langsung menyerbeti tanganya yang tampak kotor.
”Aku lulus, Bu! Lulus!” Aku berteriak girang
sambil melpompat-lompat tidak jelas.
Tapi, reaksi ibu tidak seperti yang aku inginkan,
ibu justru pergi meninggalkan aku dan menuju kamarnya.
Kalian tahu apa yang sedang aku rasakan? Sedih.
Ya. Sangat sedih. Kecewa. Ibuku tidak gembira melihat aku gembira.
Tapi, tiba-tiba ibuku kembali lagi sambil membawa
amplop. Amplop itu diserahkan ke aku. Aku membukanya. Dan langsung kulihat
tumpukan uang yang bernominal seratus rubu rupiah. Sangat banyak. Dan aku juga
menemukan buku bank. Aku membukanya dan meneukan tulisan transaksi tabungan. Di
barisan paling bawah, transaksi uang di buku itu sebesar 20juta rupiah.
Mulutku menganga lebar melihat semua ini. Kutatap
ibuku sambil menaikkan sebelah alis. Tapi ibuku hanya tersenyum penuh lembut.
”Itu uang tabungan Ibu, Nak.”
”Ibu..., dapat uang dari mana?” Aku masih sulit
memercayai semua ini.
”Dari uang hasil kerja Ibu. Ibu sudah mengumpulkan
uang ini sejak kamu kecil. Dari
dulu, kamu selalu minta ini itu, tapi tidak pernah ibu belikan. Uang buat beli
semua itu, Ibu tabungkan, Nak. Buat biaya kuliahmu.” Ibu tersenyum dengan
lebar.
Biaya kuliahku?
Tanpa ba-bi-bu lagi, aku langsung memeluk ibu
dengan tangisku yang menetes ke daster ibu. Kami berpelukan sangat erat. Ibuku
juga menangis. Kami semua bahagia.
”Maafkan ibu selama ini, ya, Nak.”
Ibuku tidak salah. Ibuku sudah membahagiakan aku,
dan mulai saat ini, aku juga akan membahagiakan ibuku. Harus.
***
5 tahun kemudian...
Aku memakirkan mobil yaris merahku ke dalam
pekarangan rumah masa kecilku. Setelah aku turun dari mobil itu, aku mengetuk
pintu. Ketukan ke 3, tampak seorang ibu yang wajahnya sudah mulai keriput. Itu
ibuku.
”Assalamu’alaikum, Bu.” Aku menyalami ibuku dengan
hormat.
Ibuku kaget dengan kedatanganku tiba-tiba. Beliau
langsung memelukku.
”Apa kabar, Nak?” tanya ibuku setelah melepaskan
pelukan dari aku.
”Baik, Bu. Oh iya, boleh Prita masuk?” Ibuku
langsung tersenyum dan menggandeng aku masuk.
Setelah berhasil duduk berdua dengan ibu, aku
mengeluarkan buku dari dalam tas. Dan kukasihkan ke ibu. Tatapan ibu setelah
membuka buka itu, adalah tatapan tidak percaya. Mulutnya menganga lebar.
Ya, buku itu berisi bukti pemberangkatan haji
ibuku pada tahun 2019 mendatang. Aku telah mendaftarkan ibu haji. Uang itu
berasal dari hasil penjualan ke 5 novelku. Semua novelku sudah menjadi best
seller. Ya, sudah 4 tahun ini aku menjadi penulis. 2008 lalu, aku berhasil
menerbitkan novel debutku. Novel itu diterbitkan ketika aku menjalani kuliah
semester ke 3.
Cita-citaku dari dulu memang menjadi penulis. Dan
sekarang, impianku tercapai. Semua berkat ibuku.
Aku juga harus memenuhi cita-cita ibuku dari dulu.
Berangkat naik haji. Dan sekarang aku berhasil.
Ibuku langsung memelukku tak percaya. Beliau
menangis dengan sangat kencang. Aku hanya bisa menyungginggkan senyumku.
Sekarang, ibuku berhasil membahagiakan aku, dan
aku juga berhasil membahagiakan ibuku.
Ya, sekarang aku jadi mendapat pelajaran penting.
Betapa indahnya jika kita tidak membantah orang
tua.
Betapa indahnya jika kita menyiapkan semuanya jauh
dari sebelum hari itu.
Betapa indahnya jika kita melakukan semuanya
dengan pengorbanan.
Karena pengorbanan dengan tulus, akan mendapatkan
buah yang sangat manis.
Kalian tidak akan menyesal.
0 komentar:
Posting Komentar
Thanx for you'r coming :)